Wednesday, August 18, 2010

Pawukon

Om Suastiastu, Terlanjur percaya dengan pawokun, Maka bebekal rumus dasar perhitungan pawukuon yang ada di buku agama SMP, Tiang pernah membuat program kecil untuk mudah menghitung pemanfaatannya.

Apa itu?
Tak lain dan tak bukan, pemanfaatan untuk mengetahui Patemon, alias perjodohan berdasarkan Weton.

Sebelum nikah, tiap kali kenal cewek yg menarik, target pertama adl dapet tgl lahirnya. Begitu dapet, input ke program, chek apakah patemonnya cocok.

Luar biasa efective.
Pencarian menjadi sangat fokus. Follow up dilakukan jika dan hanya jika output program mengatakan "Patemon Becik Pisan" he he he.

Apakah Istri yang kini mendampingi adalah hasil dari itu? Wah itu rahasia ... yg harus tiang jaga!
Jangan sampai nanti istri bertanya-tanya, jangan-jangan kudipilih semata-mata karena weton.
Alias omong kosong dengan semua bujuk rayu di luar itu he he he

Yap, itu sekedar prolog.

Sebagai orang bali terbiasa dengan pawukon, Disamping kagum dengan demikian patuhnya masyarakat bali thdp-nya, Di sisi lain kok tiang tak bisa memungkiri munculnya pikiran yang "memoya" terhadapnya.Alias, pikiran ini sering kali tidak begitu percaya dengan validitas-nya? Mungkin karena tiang tak pernah menemukan rujukan yang pas untuk menguji, Juga, belum pernah membaca sejarah tentang pawukon itu sendiri. Tiang sangat berharap ada sameton yg dapat membantu menemukan referensi mengenai hal itu. Peristiwa apa, kapan, dimana dan siapa-kah yang memulai pawukon itu?

Menyangkut validitas, yg tiang maksudkan adalah, Apa bener ada perbedaan "Qualitas Hari" antara hari yg disebut Kajeng Kliwon dengan Pasah Umanis?Apa bener ada perbedaan "Qualitas Hari" antara hari yg disebut Saniscara Kliwon dengan Anggara Umanis ? Dan sebagainya.

Kalau penentuan hari baik dan buruk berdarkan posisi bulan, matahari atau hal-hal lain menyangkut tata surya, Dengan mudah tiang dpat menerima alasannya, yg mana itu dapat dijelaskan dengan memperhatikan faktor gravitasi dsb.Qualitas hari yang disebut Purnama, menjadi berbeda dengan hari yang disebut panglong kaping 7, ya jelas karena kekuatan gravitasi-nya berbeda. Kualitas gravitasi (yg bisa dikur) berbeda, tentu berpotensi besar berpengaruh beda juga pada prilaku manusia.

But, kalau pawukon, apa dasarnya?
Menurut logika saya, Itu khan hanya penerapan rumus aritmatik sederhana,dengan mencari KPK antara masing-masing satuan (baca Jam-Jaman).Dan dalam formula aritmatika serpeti itu, penetapan awal menjadi sangat-sangat peting. Kalau Hari Pertama mulainya Pawukon disepakati sebagai Umanis, Maka hari yang ke Sejuta sesudahnya ya akan disebut Umanis Juga,
Tapi Kalau Hari Pertama mulainya Pawukon disepakati sebagai Kiliwaon, Maka hari yang ke Sejuta sesudahnya pun akan disebut Kliwon Juga. Terlihat jelas, kesepakatan dan pemaknaan di awal itulah yang paling menentukan. Arti berikutnya adalah, bahwa dalam pawukon, KESEPAKATAN itulah yang susungguhnya penting, dan bukan pada HARI-nya itu sendiri.

Dapat dipahami apa yang tidang maksudkan? Kalua kurang jelas, baiklah tiang akan coba membuat lebih gamblang lagi. Menurut tiang, sebuah hari dalam perhitungan Pawukon dikatan begini atau begitu, itu lebih didominasi oleh "Keterkondisian Pikiran" kita. Jadi bukan berawal dari Qualitas hari itu sendiri, tetapi lebih kepada Apa persepsi kita terhadap hari itu. Gamblangnya kita ambil contoh begini. Kajeng Kliwon Misalnya. Dia cenderung dianggap keramat bukan karena Hari-nya sendiri yang keramat, tapi lebih pada persepsi orang terhadap terhadap pertemuan Kajeng dan Kliwon itu yang membuat nya keramat. Kalau orang bali dapat merubah persepsi pertemuan kajeng dan kliwon sebagai hari bercinta misalnya, Maka dengan sendirinya setiap hari yang tertimpa pertemuan kajeng dan Kliwon akan berubah menjadi hari yang menggairahkan, terasa seperti malam mingggu bagi sepasang muda-mudi.

Sama seperti persepsi kita terhadap hari Senen. Saat weekend, kita akan merasakan bagaimana emosi kita berubah sejalan dengan berjalannya waktu. Semakin mendekati hari yang disebut senen, biasanya para kuli kantoran akan merasa semakin "meriang" karena terbayang tumpukan kerjaan, bos yang garang atau dead line yang makin menjelang. Tapi begitu Senen itu tertimpa merah karena ada perayaan keagamaan dll, maka langsung saja senen itu menjadi hari yang menyenangkan. So, bukan Hari yang tertimpa Senen itu yang tenget, tapi persepsi kita terhadap sesuatu yng disebut senen itu yang tenget dan membuat kita meriang.

Nah, kalau sekiranya sameton menangkap apa yang saya maksud, Saya bermaksud beranjak ke point berikutnya yakni mengenai Persepsi itu tadi.

Persepsi sangat gayut terhadap lingkungan dan system sosial. Persepsi masyarakat di bali berbeda dengan persepsi masyarakat di luar bali. Dan jelas bahwa pola aktivitas masyarakat di Bali berbeda dengan di Luar bali. Nah, dengan persepsi dan pola aktivitas yang berbeda itu, maka menjadi pertanyaan,

Relevankah kita (umat Hindu) menerapkan cara penentuan hari (dewasa ayu dsb) ala bali untuk
kegiatan-kegiatan di luar Bali?

Bahkan menjadi pertanyaan juga, Dengan pola activitas masyarakat bali yang mulai berubah mengikuti kalender kerja dsb yg bukan pawukon,

Masih relevankah dewasa ayu berdasarkan Pawukon dijadikan prioritas? Tidakkah dia bisa di adjust sehingga mengikuti kalender kerja?

Seharusnya bisa, Tergantung pada bagaiana masyarakat bali mereka ulang kesepakatan-nya, Membangun kembali persepsi yang match dengan kekinian.

Suksma,

Om Shanti Shanti Shanti Om

Tut Widi (Klungkung@yahoogroups.com)

No comments:

Post a Comment